Rok Mini

Selasa, 10 April 2012

Budaya Rok Mini
Kebiasaan sehari-hari memang mengakar menjadi budaya. Bahkan ketika kebiasaan itu adalah hal yang berakibat negative, tak banyak yang dapat meninggalkan kebiasaan tersebut. Justru kebudayaan tersebut dimanfaatkan oleh beberapa oknum pemusnah budaya asli menjadi sebuah budaya baru yang dibuat sedemikian rupa menarik sehingga lebih melekat dibandingkan budaya asli bangsanya sendiri. Itulah yang telah terjadi dengan era kita saat ini.

Sebuah tayangan di salah satu stasiun televise mewawancarai seorang selebriti yang saat itu memakai rok mini. Wawancara ini dihubungkan dengan UU DKI melarang perempuan memakai rok mini karena hal tersebut telah menimbulkan banyak tindakan kejahatan, seperti yang dialami perempuan muda yang kebetulana adalah vokalis band ternama di Indonesia. Seperti ini kira-kira percakapannya. “Bagaimana menurut anda tentang UU DKI yang melarang perempuan memakai rok mini saat keluar rumah?” Tanya MC, lalu artis ini menjawab, “ Oh itu tidak ada hubungannya, pakai atau tidaknya rok mini itu tergantung laki-lakinya, kalau otaknya sudah kotor ya bukan salah rok mininya donk.”
Ketika saya mendengar jawaban artis tersebut spontan saya tidak menyangka. Oh jadi seperti itu potret bangsa ini. menganggap apa yang menjadi kebiasaannya selama ini merupakan baik padahal berakibat buruk. Coba kita pikirkan lebih dalam lagi tentang fitrah manusia dengan apa yang menodainya. Faktanya, fitrah manusia adalah berpikir bersih, adanya berbagai macam tayangan untuk mata dan lingkungan yang bersedia menampilkan budaya-budaya buatan (yang katanya pengembangan budaya asli) dan telah mengakar (seperti rok mini, sinetron, bahasa gaul, dll) membuat pikiran terisi penuh dengan semua hal yang berkaitan dengan cuplikan-cuplikan fenomena tersebut dan mengendap menjadi kotoran yang mempengaruhi hati (seperti tindak kejahatan). Jadi lebih jelas lagi adalah “rok mini” (atau kebudayaan sejenis) adalah sebab dan “kejahatan” adalah akibat. Dan tidak mungkin dibalik.
Hal tersebut di atas tidak hanya berlaku pada rok mini saja, budaya buatan yang lain lagi misalnya, sinetron yang semakin menjadi sebuah tayangan pembodohan bagi masyarakat dengan segala cerita yang tidak masuk akalnya. Atau budaya berbahasa Elo Gue yang berakibat lunturnya kesopanan dan tata krama anak bangsa. Jelas ini banyak dalam kehidupan kita, namun seakan-akan kita hanya bisa menjadi sebuah kesalahan yang terlanjur mengakar dan tak pernah dapat belajar dari akibat oleh kesalahan-kesalahan yang sama.
Rok mini atau hot pan sebuah kebiasaan yang telah menjadi budaya bangsa ini. Lihat saja di segala tempat, pakaian-pakaian minim yang biasanya dipakai di rumah kala tidur atau dipakai saat mencuci, justru dipakai di tempat umum dan tak ada yang merasa heran dengan hal tersebut. Dan itu artinya, rok mini adalah budaya baru yang perlu diacungi jempol perkembangannya.
Namun sekali lagi inilah potret anak bangsa kita, hidup dengan kesalahan, sadar salah namun tak ingin berubah, dan berani memberikan pembelaan terhadap kesalahan. Miris, bahkan tragis, kebudayaan rok mini seakan mendunia dan memusnnahkan moral bangsa yang berimbas kepada masa depannya.
Dalam hal ini peran perempuan sangatlah penting. Sebenarnya, dengan dapat menjaga diri kita dari budaya yang demikian justru tidak akan menyusahkan pemerintah dengan pengadaan komnas perlindungan perempuan segala. Adanya komnas perlindungan perempuan justru akan membuat perempuan tinggi hati dan merasa lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Sehingga lebih merasa aman melakukan apa pun yang disukai, termasuk memakai pakaian yang sebenarnya tak pantas dipakai manusia se-mulia wanita. Padahal awal dari rusaknya suatu bangsa adalah moral anak muda yang semakin luntur dan mereka semakin tak mau ditransfer nasehat.
Mari kita cerna lebih jauh tentang budaya yang semakin hari semakin menguasai kehidupan sehari-hari kita. Pantasnya kita curiga dengan keadaan yang biasa sedangkan akibatnya luar biasa ini. Hali ini harusnya merupakan tindak lanjut perbaikan masa depan bangsa. Sebelum rok mini dan budaya lain yang telah menjadi bagian dari kita belum dicabut dari akarnya, maka sudah dipastikan budaya baru yang lebih buruk lagi akan datang dan menguasai anak bangsa.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Akuntansi 2009
Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi
Universitas Negeri Yogyakarta

0 komentar: